Perihal proses akademik yang tidak memanusiakan manusia: sebuah oto-kritik

Salah satu tujuan pendidikan tinggi (dan pendidikan pada umumnya) adalah untuk membentuk manusia-manusia unggulan yang mampu memberikan sumbangsih pada kemajuan umat manusia. Tapi, terdapat sebuah tujuan yang lebih humanistik yang dapat ditelusuri sejak zaman Plato: memanusiakan manusia; mengajarkan manusia supaya bisa hidup. Namun, apakah pendidikan kita sudah melupakan tujuan ini, dan justru mencetak manusia yang tidak tahu cara ‘hidup’?

Continue reading →

Bukan waktunya saling menyalahkan!

Markas polisi. Dua ledakan.

Tiga gereja. Tiga ledakan. 14 korban.

Satu hari.

Ketika nyawa sudah melayang, barulah kita terpukul sejenak dan mulai ingin berdiskusi secara terbuka. Di media sosial, semua meluapkan perasaannya. Amarah dan kutukan pada teroris. Belasungkawa pada korban. Seruan untuk bersatu dan melawan.

Sepertinya hanya tragedi yang mampu menyadarkan kita semua.

Namun, kejadian terorisme di tahun ini berbeda dengan tahun lainnya. Apa karena tahun politik? Polarisasi yang terjadi di masyarakat sepertinya sudah mematikan praktik diskusi publik yang sehat. Apa-apa dianggap salah kubu sebelah.

Begitu menyakitkan mendengar argumen mereka yang menyangsikan kebenaran dan keabsahan kejadian tersebut. “Bom itu hanya rekayasa; akal-akalan politik kubu sebelah untuk menyudutkan agama kami!” Ooh percayalah, kalau negara hanya ingin menyudutkan agama kalian, mereka bisa melakukan hal yang lebih keras dan otoriter daripada hanya merekayasa pengeboman.

Di tahun ini, sangat sulit melakukan diskursus sipil yang sehat. Masyarakat sudah terlanjur terpisah menjadi dua kubu yang hanya mampu melihat hitam dan putih; saya (dan mungkin beberapa di antara kalian) yang berdiri di wilayah abu-abu ini dianggap plin-plan, tak punya pendirian, dan apatis. Padahal saya hanya ingin suasana demokrasi yang terstruktur dan sehat. Bukan kondisi dimana ketika seseorang mengemukakan pendapat yang terkesan sedikit “condong” ke kubu yang seharusnya dia lawan, malah seketika dikategorikan dalam hitam atau putih. Akhirnya, diskusi publik hanya menjadi ajang mencari-cari kesalahan, memuaskan confirmation bias, dan ajang menyuarakan kata ejekan yang paling kasar untuk mendeskripsikan lawan politik kita.

Terorisme bukan masalah satu pihak saja. Terorisme merupakan masalah kita bersama. Tapi kalau kita saja tidak bisa akur, maka para teroris sudah menang.

Gambar header dari Asia Times.

Mengapa anak HI harus membaca fiksi?

Belakangan ini saya sangat sering membaca karya fiksi ilmiah dari Tiongkok. Dan terlihat beberapa perbedaan dan kesamaan antara gaya bercerita dari karya fiksi ilmiah Barat. Tapi kali ini saya nggak akan ngomong soal perbedaan tersebut. Karena memang post ini bukan analisis sastra. Saya akan berargumen bahwa anak HI harus jeli membaca fiksi untuk mengembangkan imajinasi kalian.

Continue reading →

Mengenai kewirausahaan dan institusi pendidikan tinggi: mencari keseimbangan

Kampus-kampus yang menawarkan “kewirausahaan” sebagai daya tarik serta keunggulan mereka patut dihargai dan diberdayakan. Tapi, jangan sampai fokus berlebihan pada “kewirausahaan” menyerupai kepercayaan buta — apalagi hingga menyingkirkan tugas utama sebuah kurikulum: untuk membentuk manusia yang mampu berpikir kritis. Continue reading →

Teknologi dan masyarakat: sebuah hubungan yang rumit

Perkembangan teknologi selalu diharapkan dapat berkontribusi pada perkembangan kehidupan manusia. Namun, kenapa sih ketika teknologi berkembang, standar kehidupan tidak serta-merta ikut berkembang dengan pola yang sama? Alasannya terletak pada hambatan sosial-politik yang menghambat implementasi teknologi tersebut.

Continue reading →