Aho-sophy: Mencari kebahagiaan dari kegiatan non-telos

Hidup tidak hanya mengejar tujuan. Terlalu banyak tujuan membuat hidup sengsara. Saran seorang filsuf: utamakan kegiatan yang tidak memiliki tujuan.

Kalau ada satu penyesalan saya mengambil kuliah S2 di Singapura, penyesalan tersebut adalah tertanamnya budaya kiasu pada diri saya. Kiasu dapat diartikan sebagai “tidak mau kalah” (kalau dalam bahasa Inggris, namanya “keeping up with the Joneses”). Dan berkat budaya kiasu ini, saya jadi merasa tertinggal jika tidak selalu bekerja dan membaca karena melihat sekeliling saya juga melakukan hal yang sama. Meskipun saya pengen banget tidur siang sebentar, teman-teman masih saja tekun membaca di perpustakaan. Jadinya agak malu juga balik ke kamar — atau lebih tepatnya, saya takut tertinggal materi.

Kebiasaan ini juga terbawa sekarang. Brengseknya Insta-story dan LinkedIn adalah teman-teman sesama akademisi kerap mem-posting mengenai hasil kerja mereka (publikasi entah di jurnal, media cetak, atau wawancara mereka dengan media massa); sedangkan saya di sini stress memikirkan penulisan proposal penelitian saya yang nggak kunjung jadi. Jadinya, saya sering memaksakan diri berpikir keras supaya kerjaan ini selesai. Eh, ujungnya nggak selesai. Lantas saya kesal sendiri karena merasa tidak mampu mencapai target.

Akhirnya, saya malah jadi terbebani sendiri. Hidup harus selalu mengejar target. Ketika satu target tercapai, carilah target berikutnya. Hidup selalu mengejar telos (tujuan) yang begitu banyak. Satu makalah selesai, lanjut ke naskah berikutnya. Kalau tidak mampu mencapai target, seketika nilai kita turun.

Inilah kemuraman hidup yang dilukiskan oleh Schopenhauer, yang kemudian dianalogikan oleh Kieran Setiya (2014) seperti “mencari teman hanya untuk mengucapkan selamat tinggal”.

Baru-baru ini, saya iseng menonton ulang film The Secret Life of Walter Mitty. Ketika pertama kali menonton, saya takjub dengan teknik visual film tersebut, yang berhasil mengalihkan perhatian saya dari ceritanya yang tergolong medioker (dan kenyataan bahwa film itu hanya sebuah iklan turisme dan majalah LIFE). Kali kedua ini, saya justru memerhatikan kelakuan Walter Mitty yang sering daydreaming, atau bermimpi di siang bolong. Fantasinya kadang kreatif, luar biasa, dan kadang aneh. Meskipun dari satu sisi kita bisa mencibir Mitty yang suka berkhayal, di sisi lain, kita harus bisa mengapresiasi kemampuan kreatif kita yang memuncak ketika kita membiarkan otak kita berkelana bebas.

Daydreaming sering dipandang sebagai sebuah kegiatan yang tidak bermanfaat karena tidak “menghasilkan” apa-apa. Di dunia yang begitu terobsesi dengan produktivitas dan rasionalisasi, kalau sebuah kegiatan tidak mendatangkan faedah apa-apa, harus segera dihentikan. Mungkin ini bisa diterapkan dalam struktur organisasi dan memang, kita harus berhenti melakukan hal yang tidak mendatangkan manfaat.

Hanya saja, ada beberapa jenis kegiatan yang pada dasarnya bersifat non-telos. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan ini justru bermakna ketika dijalankan, bukan ketika “menghasilkan” sesuatu. Kita melakukan kegiatan ini bukan karena ingin mencapai sebuah telos, tapi hanya karena ingin melakukan kegiatan tersebut. Kita mendapatkan kebahagiaan bukan ketika sebuah target tercapai, tapi ketika kita benar-benar menjalani kegiatan yang kita lakukan. Contohnya, mempelajari filsafat, mendengarkan musik, berbincang-bincang dengan teman, atau sekedar berjalan kaki tanpa tujuan. Kalau untuk saya, ya menulis seperti ini.

Kemuraman datang ketika “struktur” dan rasionaliasi terjadi. Ketika kita men-telos-kan sebuah kegiatan non-telos, seperti menghitung langkah ketika berjalan kaki, pada saat itulah kita mulai tidak bisa menikmati kegiatan tersebut seperti semula. Hari ini saya tidak mencapai target, besok harus lagi. Sama seperti ketika saya bekerja sebagai fotografer di sebuah lembaga swadaya masyarakat. Bagi saya waktu itu, fotografi merupakan kegiatan non-telos yang membahagiakan saya. Namun, ketika saya disuruh mencapai kuota sekian foto per hari, pada saat itu saya merasa “kehilangan” makna — kegiatan non-telos saya berubah menjadi kegiatan ber-telos. Sampai sekarang, saya tidak pernah lagi memegang DSLR saya.

Bukan berarti saya anti-struktur atau rasionalisasi. Kita memang harus selalu mengejar tujuan dan peningkatan performa. Untuk mengetahui peningkatan performa, kita butuh sebuah struktur untuk mengetahuinya, yaitu dengan menetapkan target dan berusaha supaya hari ini lebih baik dari kemarin. Namun, yang kita harus ingat adalah, terkadang, hal-hal yang indah dalam hidup tidak perlu memiliki telos. Kuncinya adalah menyadari bahwa kita perlu menyeimbangi kegiatan ber-telos dengan kegiatan non-telos. Mungkin ini terdengar basi, tapi sebagai seseorang yang sudah melupakan saran ini, biarkan tulisan ini menjadi pengingat buat saya.

Biar saya tutup tulisan ini dengan kutipan dari artikel Setiya, yang meringkas inti dari tulisan saya:

“Instead of studying Aristotle in order to write an essay … one writes an essay to understand Aristotle.”

Daripada mempelajari Aristoteles untuk menulis sebuah esai, tulislah sebuah esai untuk mempelajari Aristoteles.

Referensi:

Kieran Setiya. November 2014. “The Midlife Crisis”. Philosopher’s Imprint, Vol. 14, no. 31.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.