Aho-sophy: Mengambil kembali kesendirian

Di masa yang semakin hiruk pikuk berkat keterhubungan kita melalui internet, kesendirian menjadi sumber daya yang langka dan terancam. Saatnya mengambil kembali waktu menyendiri.

Bagi pembaca setia blog ini, kalian mungkin sudah tahu kalau saya suka kesendirian. Saya suka mengamati keramaian dari jauh, mencoba memaknai interaksi sosial yang terjadi, dan berpikir mengenai hal-hal yang mungkin menurut orang awam tidak masuk akal sama sekali. Atau mungkin saya aja yang antisosial?

Yang jelas, waktu yang kita miliki untuk sendiri, di zaman modern ini, mulai terkikis perlahan-lahan. Padahal, waktu ini adalah waktu penting yang membuat kita unik sebagai individu. Bukan berarti saya menginginkan kita semua pindah ke hutan dan menikmati alam seperti Thoreau. Bukan berarti juga kita harus kembali ke zaman pra-internet dan mengorbankan segala kemudahan hidup yang telah diberkahi internet. Bukan berarti juga kita harus menjadi anti-sosial dan membelakangi interaksi sosial sama sekali.

Dalam sebuah grafik yang disajikan oleh Adam Alter dalam TED Talk-nya, dia menunjukkan kalau ‘waktu putih’, yakni waktu yang kita miliki untuk benar-benar menjadi diri kita sendiri, semakin berkurang. Alasan utamanya adalah karena kita terpaku pada layar dan hidup di dunia maya. Interaksi tambahan, serta desain media sosial serta semua aplikasi yang terdapat di ponselmu, menyita waktu pribadimu.

heres-why-it-feels-like-you-have-no-free-time-in-one-chart.jpg

Kenyataan ini yang dikritik oleh Michael Harris dalam bukunya Solitude (yang kini sedang saya baca). Harris menganggap waktu sendiri sebagai sebuah sumber daya yang semakin langka. Ditambah, manusia modern seolah lupa caranya memanfaatkan waktu sendirinya dengan maksimal. Kapan terakhir kalinya kamu melamun? Padahal, ketika kamu melamun, biasanya inspirasi muncul. Kini, kita tetap menatap ponsel saat sedang boker.

Menurut Harris, terdapat sebuah stigma sosial (setidaknya di masyarakat Amerika) yang berlandaskan etos Protestan yang dikemukakan Max Weber terhadap orang-orang yang suka melamun. Dalam kultur Protestan, siapapun yang tidak bekerja, tidak mendapatkan apa-apa. Melamun bukanlah sesuatu yang produktif, sehingga dianggap perbuatan aneh. Stigma serupa umumnya kita jumpai di masyarakat kita pula. Pernah kan, nonton iklan yang bilang kalau kita melamun nanti kesambet setan?

Sekali lagi, tulisan ini tidak serta-merta menganjurkan kamu pindah ke gubuk di tengah hutan dan menghindari interaksi sosial seperti hikkikomori. Pun saya sadar kalau tidak semua orang memahami ‘kesendirian’ seperti saya. Tapi, bagi mereka yang tertarik ingin mengambil kembali ‘waktu putih’ mereka, kalian bisa mulai dari hal-hal kecil seperti tidak membawa ponsel ke kamar mandi, melihat ke luar jendela di sela-sela pekerjaan, tidak melihat ponsel saat makan siang, dan yang paling utama, tidak melihat ponsel saat berjalan. Tengoklah ke atas, ke samping, ke depan, dan perhatikan dunia resolusi tinggi yang kita tinggali.

Untuk yang terakhir, saya berharap lebih banyak orang melakukannya. Yang jelas, saya benci banget kalau sudah harus berjalan di orang yang bungkuk menatap ponselnya sambil jalan, terutama di jalur sempit. Lebih kesal lagi kalau mereka datang dari arah berlawanan dan berjalan zig-zag. Jadinya lebih susah mau menghindar. Bisa kok ke pinggir dulu, balas chat, terus jalan lagi!

1 Comments

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.